Tidak meratanya kondtribusi PDB di Indonesia Sumber: Paparan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian pada IDF 2017 di Jakarta |
Kesenjangan wilayah adalah fenomena universal (Ernan Rustiadi, dkk, 2009). Hal senada disampaikan pula oleh Guru Besar IPB, Prof Dr Muhammad Firdaus, SP, MSi dalam orasi ilmiahnya tahun 2013 lalu. Bahwa dunia belahan selatan dianggap lebih tertinggal dari belahan utara. Beberapa negara seperti Amerika, Cina, serta Thailand juga menghadapi kesenjangan berupa pembangunan wilayah bagian barat lebih tertinggal dibandingkan bagian timur.
Tak dapat dipungkiri, Indonesia juga tak luput dari permasalahan kesenjangan ini. Seperti yang terlihat pada gambar diatas, konsentrasi ekonomi di Pulau Jawa sangat mendominasi. Di sisi lain, persentase PDB Maluku dan Papua tidak sampai 10 persen dari sumbangan PDB Pulau Jawa untuk PDB Nasional. Kesenjangan antara wilayah barat dan timur terlihat begitu mencolok. Bahkan, kesenjangan antara perkotaan dan pedesaan di Indonesia juga cukup tinggi. Mengapa demikian? Menurut Sjafrizal (2012) ketimpangan ekonomi wilayah dikarenakan terkonsentrasinya kegiatan pada wilayah tertentu.
Bagaimana mengatasi kesenjangan ini?
Ada banyak indikator yang mendefinisikan kemajuan suatu daerah. Maka, akar masalah dari kesenjangan wilayah ini begitu kompleks dan tidak mungkin diselesaikan dengan sekali tebas. Diperlukan strategi menyeluruh dari seluruh aspek yang menjadi penyebab kesenjangan wilayah ini. Salah satunya dari aspek pengembangan wilayah.
Menurut Mulyanto (2008) pengembangan wilayah adalah seluruh tindakan yang dilakukan untuk memanfaatkan potensi wilayah yang ada. Dan tujuannya adalah untuk memeratakan pertumbuhan wilayah dan mengurangi kesenjangan antar wilayah (Adisasmita, 2008). Salah satu strategi untuk mengurangi ketimpangan pengembangan wilayah menurut Sjafrizal (2012) adalah dengan mengembangkan wilayah tertentu menjadi pusat pertumbuhan (growth pole) secara menyebar. Karena growth pole menganut konsep konsentrasi dan desentralisasi sekaligus. Pusat-pusat pertumbuhan baru ini dapat dipacu dan berkembang dengan cepat dan signifikan (Ernan Rustiadi, dkk, 2009).
RPJPN Tahun 2005 – 2025 yang diamanatkan dalam UU No. 17 Tahun 2007, salah satunya menjabarkan arah pembangunan jangka panjang Indonesia. Visi pembangunan daerah diarahkan pada terwujudnya peningkatan kesejahteraan masyarakat (quality of life) di seluruh wilayah, berkurangnya kesenjangan antar wilayah, dan peningkatan keserasian pemanfaatan ruang. Dan pada RPJMN Tahun 2015 – 2019, sebagai tahapan prioritas ke-3 RPJPN, salah satu arah pembangunannya berkaitan dengan keserasian pemanfaatan ruang. Di mana strateginya adalah dengan mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan. Hingga kini, Indonesia telah melakukan praktik pengembangan pusat pertumbuhan regional dengan berbagai tema. Seperti KAPET, KEK, KI, KPBPB, dan KSPN, namun tak seluruhnya menunjukkan hasil yang optimal.
RPJM ke-4 ditujukan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur melalui percepatan pembangunan di berbagai bidang, dengan menekankan terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif di berbagai wilayah yang didukung oleh SDM berkualitas dan berdaya saing. Salah satu prinsip dasar dalam pengembangan wilayah menurut Direktorat Pengembangan Kawasan Strategis, Ditjen Penataan Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002) adalah sebagai growth center. Pengembangan wilayah tidak hanya bersifat internal wilayah, namun harus diperhatikan pengaruh (spred effect) pertumbuhan yang dapat ditimbulkan bagi wilayah sekitarnya, bahkan secara nasional.
Bila konsentrasi hanya terjadi pada titik tertentu, perkembangan wilayah menjadi kurang efektif dan pusat pertumbuhan yang ada tidak dapat manjangkau keseluruhan wilayah. Hal ini justru akan menciptakan kesenjangan baru. Terlebih jika terdapat eksploitasi sumber daya oleh daerah yang lebih maju serta penduduk usia produktif banyak yang berpindah ke daerah pusat pertumbuhan karena kurangnya pekerjaan di daerah hinterland. Maka, optimalisasi daerah hinterland juga harus dilakukan, di samping terus mengembangkan wilayah pusat pertumbuhan.
Lantas kebijakan dan strategi apa yang bisa diterapkan untuk mendukung pengembangan growth pole di Indonesia?
One Village One Product (OVOP) adalah salah satu konsep pengembangan ekonomi wilayah. Dan konsep ini bukanlah hal yang baru di Indonesia. Sejak tahun 2008, konsep yang dicetuskan di Jepang ini sudah dilakukan oleh Kementerian Koperasi Dan UKM. Selain di Indonesia, konsep ini banyak diadopsi oleh negara lain dengan berbagai nama yang berbeda. Berdasarkan Buku OVOP Guidelines (2014), OVOP di Brunei disebut One Kampung One Product (1K1P) dan di Filipina disebut One Town One Product. Di negara kita, OVOP sudah mewadahi beberapa produk lokal, seperti bawang goreng khas Palu, carica khas Wonosobo, serta kerupuk kemplang dan pempek khas Palembang. Beberapa produk sudah sukses go internasional.
OVOP memiliki misi untuk meningkatkan, mengembangkan dan mempromosikan suatu produk sehingga masyarakat dapat merasa bangga. Pada titik tersebut, kemandirian, kreativitas dan inisiatif masyarakat hinterland melalui pemanfaatan sumber daya lokal akan meningkat. Ekonomi lokalpun berjalan tanpa bergantung sepenuhnya pada kawasan pusat pertumbuhan. Hal ini sejalan dengan 3 prinsip OVOP yang dinilai mampu mengembangkan hinterland yaitu lokal tapi global, kemandirian dan kreativitas, dan pengembangan sumber daya manusia (SDM). Bila OVOP dilakukan pada setiap daerah hingga satuan terkecil (kelompok RT, dusun, desa atau kecamatan) maka produk yang memiliki nilai ekonomi pada setiap daerah akan mengangkat ekonomi daerah tersebut. Dengan demikian keunggulan komparatif antar daerah dapat tercipta. Daya saing antar wilayah dapat memacu pertumbuhan pada cakupan wilayah yang lebih kecil, dan berimbas pada ekonomi nasional.
Wilayah Indonesia Timur begitu kaya dengan sumber daya alam. Terutama potensi alam, kelautan juga pertanian. Potensi ini yang perlu dikembangkan dengan kerangka OVOP. Termasuk di dalamnya adalah potensi wisata. Pengembangan ekonomi lokal dengan konsep OVOP ini dapat dikaitkan dengan dana desa. Dana desa yang digulirkan bisa digunakan sebagai support pendanaan OVOP. Karena salah satu harapan digelontorkannya dana desa adalah pemberdayaan ekonomi lokal. Hingga semua tujuan pembangunan kawasan pedesaan seperti mewujudkan kemandirian masyarakat dan menciptakan desa-desa mandiri dan berkelanjutan bisa menjadi kenyataan sehingga martabat, kehidupan dan perekonomian masyarakat desa menjadi lebih baik dan terangkat.
Dalam pelaksanaannya, sudah tentu masyarakat tidak akan bisa berjalan sendiri. Kolaborasi antar stakeholder wajib dilakukan agar keterpaduan program dapat terwujud. Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan, Kementerian Perdagangan, ritel sebagai sarana pemasaran produk, swasta sebagai investor, aparat tingkat kabupaten hingga tingkat desa dan masyarakat sebagai pelaku harus saling bergandeng tangan untuk menghasilkan minimal satu produk di setiap wilayah hinterland. Bahkan, kalangan akademisi juga dapat dilibatkan dalam pengembangannya. Misal, ada kewajiban awardee LPDP untuk mengabdi di daerah timur dengan membina masyarakat agar mandiri secara ekonomi, layaknya dokter muda yang mengabdi di daerah pelosok.
Dengan penerapan OVOP, pedesaan/ hinterland akan lebih berdaya. Sehingga angka ketergantungan pada pusat pertumbuhan akan menurun. Hal ini juga akan menjamin pengolahan sumber daya lokal, sehingga eksploitasi sumber daya oleh daerah yang lebih maju dapat ditekan. Potensi-potensi di wilayah timur harus didorong untuk dikembangkan sebagai pondasi ekonomi lokal melalui OVOP.
Ps. Artikel ini pernah dipublikasikan di website Indonesia Development Forum 2018 (klik). Untuk mengetahui referensi yang saya gunakan silakan kontak melalui email. Terima kasih.
Comments
Post a Comment
Terimakasih sudah komentar. Komentar akan muncul setelah proses moderasi. :)