“Umroh itu bukan ibadah bersama-sama, umroh itu ibadah mandiri, maka bapak ibu harus paham apa yang dilakukan saat umroh.” Kurang lebih begitulah pesan Ustad Faridl, pembimbing umroh kami, saat manasik. Walau aku tak ingat persis kalimat yang beliau ucapkan, namun aku sepakat dengan apa yang beliau sampaikan. Kendati berangkat dari Indonesia beserta rombongan, plus serangkaian kegiatan di tanah suci dilakukan berkelompok, namun sama halnya dengan salat wajib, “rangkaian” umroh mulai dari miqat hingga tahalul menjadi urusan pribadi, alias perkara mandiri antara manusia dengan pencipta-Nya.
***
Minggu lalu, adik tingkatku saat kuliah, Febri, tiba-tiba menanyakan perihal umroh melalui Whatsapp chat. Singkatnya, ia menanyakan panduan ibadah selama umroh. Bermula dari percakapanku dengannya, aku terinspirasi untuk membuat tulisan tentang pengalaman umrohku ini. Karena aku yakin banyak muslim dan muslimah yang juga ingin tahu mengenai proses umroh di tanah suci. Utamanya yang ingin melakukan umroh mandiri. Semoga bermanfaat…..😊
Well, aku selalu bersyukur bisa umroh ke tanah suci. Syukur itu terus bertambah, terutama karena November lalu aku umroh bersama ibu. Akhirnya setelah terus menerus memintanya lewat doa, Allah mewujudkan perjalanan suci ini. Perjalanan yang kembali menghadirkan beragam pengalaman di setiap kegiatan. Ya, berbagai kegiatan kami lakukan di tanah suci. Mulai dari kegiatan simpel seperti beli kurma ruthob dan memakannya di pelataran masjid, hingga yang khusyuk seperti tawaf dan salat. Dari beragam kegiatan selama 'traveling' ke tanah suci, tentu saja yang paling berkesan adalah saat umroh itu sendiri.😊
Sebelum aku cerita pengalaman umrohku bersama ibu, sepertinya aku perlu menggaris-bawahi, kalau umroh mandiri yang aku tulis disini bukan umroh secara keseluruhan. Namun murni serangkaian “ritual” umrah, mulai dari mengambil miqat hingga tahalul. You know, ada pemahaman yang keliru antara penyebutan umroh dengan “ritual” umroh itu sendiri. Saat kita ke tanah suci yang biasa disebut dengan umroh, sebenarnya disana bukan hanya umroh saja, namun banyak hal yang bisa dilakukan. Utamanya tentu memperbanyak ibadah kepada Allah.
Sementara prosesi umroh itu sendiri adalah serangkaian kegiatan yang sebenarnya bisa dilakukan dalam 4 hingga 5 jam saja. Itulah kenapa belakangan ini ada free visa umroh untuk penumpang Saudia Airlines juga Flynas Airlines yang singgah di Bandara Jeddah selama 96 jam. Durasi itu dianggap sangat cocok untuk umroh dalam keadaan transit. Sooooo, kalau kamu sedang mencari artikel mengenai umroh mandiri secara keseluruhan ---berangkat sendiri tanpa travel dari tanah air--- maka maaf, saya tidak menuliskan itu. But.., aku harap pengalamanku ini akan membantu kamu dalam mempersiapkan proses inti umroh itu sendiri, baik dengan menggunakan travel ataupun dengan konsep backpacker.😉
***
Baca juga: Apa yang Perlu Kamu Tahu Sebelum Umroh?
Kamis, 23 November 2023
Pagi itu aku dan ibu salat subuh di area mataf alias pelataran kabah. Kami baru beranjak dari area masjid setelah suruq. Kami berjalan beriringan kembali ke hotel untuk sarapan, kira-kira pukul 7.30. Pelataran masjid telah nampak sepi. Udara sejuk dan cahaya matahari sudah cukup menghangatkan badan. Hari itu kami punya misi untuk menunaikan umroh kedua secara mandiri, pisah dari rombongan.
Malam sebelumnya kami sepakat untuk tidak ikut rombongan ke Kota Thaif. Alasannya, perjalanan ke Kota Thaif memakan waktu seharian, fisik ibu tidak kuat, begitu pikirku. Toh akan lebih baik jika diisi dengan ibadah saja di Masjidil Haram. Syukurlah, ibu setuju. Malam itu juga aku pamit ke Ustad Faridl, pembimbing perjalanan kami, kalau aku dan ibu akan tetap di Mekah saja untuk umroh mandiri.
Selepas sarapan, kami kembali ke kamar, untuk mandi ihram dan bersiap-siap. Betul, langkah pertama sebelum umroh adalah mandi besar yang diniatkan sebagai mandi ihram. Saat berumroh, wanita dilarang menggunakan wewangian. Maka saat mandi ihram perlu dipastikan menggunakan sabun juga sampo tanpa tambahan pewangi. Aku sudah mempersiapkan toiletries tanpa wewangian dari Indonesia. Alhamdulillah, ada salah satu local brand yang memproduksi kebutuhan toiletries juga skincare khusus untuk umroh dan haji.
Baju ihram pun demikian. Jauh-jauh hari sebelum packing, aku sudah mencuci dan menyetrika perlengkapan umroh tanpa pewangi. Ohya, kalau laki-laki diwajibkan memakai kain ihram, perempuan dapat memakai baju biasa, yang penting menutup aurat dan tidak ketat, plus tidak terawang tentunya. Warnanya-pun boleh apa saja. Bagi laki-laki yang ingin menuju area mataf kini juga wajib menggunakan kain ihram, tidak hanya saat proses umroh saja. Jadi jangan lupa untuk membawa beberapa kain ihram ya bapak-bapak! 😎
Setelah persiapan semua beres, pukul 9 kami mulai keluar hotel. Tujuan kami jelas: miqat di Masjid Aisyah atau Tan'im. Ini adalah satu dari lima tempat miqat di tanah suci. Masjid Aisyah menjadi tempat miqat terdekat dari Masjidil Haram, kurang lebih 7 km di arah utara. Kenapa dinamakan Masjid Aisyah? Ada sejarahnya. Saat haji Wada' di tahun 9 Hijriah, Bunda Aisyah, istri Rasulullah SAW, sedang haid sehingga tidak dapat melakukan tawaf. Setelah beliau kembali suci, beliau mengambil miqat di masjid ini. Sederhananya, miqat saat umroh adalah proses menjatuhkan niat untuk umroh. Hukumnya wajib dilakukan pertama kali sebagai satu rangkaian umroh. Setelah mengambil miqat, kita wajib menaati hukum-hukum larangan ihram.
Ohya, sebagai konteks, selama di Mekah saya menginap di Hotel Anjum. Hotel yang lebih dekat dengan area perluasan Masjidil Haram. Selain lobi utama, hotel ini memiliki area basement yang cukup luas, menghubungkan hotel dengan jalan terdekat menuju masjid. Di depan entrance hotel ini pula terdapat beberapa taksi yang siap mengantarkan para jamaah menyusuri Kota Mekah dan sekitarnya, termasuk jamaah yang akan mengambil miqat ke Tan'im.
Aku dan ibu berjalan melewati lobby utama dan oudoor restaurant, kemudian masuk lift yang terhubung ke area basement. Aku pencet tombol B, dan liftpun bergerak tak sampai satu menit. Sampai di basement, aku mengisyaratkan pada ibu untuk berhenti sejenak di depan mesin ATM. Aku perlu mengambil uang untuk ongkos taksi, karena uang Riyalku sudah habis. Cepat aku masukkan kartu debit berlogo VISA milikku ke mesin ATM. Beberapa kali aku menekan pilihan di layar, termasuk memasukkan pin, dan keluarlah selembar uang pecahan 500 Riyal. Tak sampai 2 menit aku sudah kembali mengantongi kartu debit itu, plus selembar uang kertas.
Aku dan ibu kembali melangkahkan kaki. Aku lihat ada dua taksi putih yang mangkal disana. Kedua sopir itu sigap melihat kami, namun aku memilih fokus pada sopir yang antri paling depan. Aku mendekati mobilnya dan menanyakan pada beliau apa bisa mengantar kami ke Tan’im. Dalam bahasa inggris kami bercakap-cakap. Saat aku bertanya berapa tarifnya, dengan jelas dia mengatakan 50 Riyal untuk pulang-pergi. Akupun setuju tanpa menawar lagi, karena memang harga pasarannya di angka itu. Wait, dari mana aku tahu? Malam sebelumnya aku sudah menanyakan pada muntowif kami tentang harga taksi ke tempat miqat ini. Alhamdulillah tanpa ba-bi-bu lagi kami melenggang masuk ke kursi belakang.
Taksi kami melaju tidak terlalu kencang, juga tidak lambat. Jalanan tampak lengang, mungkin masih pagi, pikirku. Mobil sedan itu hanya berhenti sejenak di beberapa traffic light. Tak lama kami sampai. Perjalanan menuju Masjid Aisyah kira-kira ditempuh dalam 15 hingga 20 menit saja. Kami tiba di area parkir depan masjid yang cukup sepi pagi itu. Taksi yang kami tumpangi-pun bisa mendapat parkir di area yang sangat dekat dengan arah pintu masuk masjid.
Aku dan ibu sigap keluar mobil. Sebelum meninggalkan area parkir tak lupa aku memfoto nomor taksi itu, agar nanti mudah dikenali saat kembali. Maklum ada puluhan taksi berwarna putih di area parkir. Namun ini hanya untuk berjaga-jaga saja, karena pak sopir umumnya mengenali penumpangnya.
Saat mengambil miqat di Masjid Aisyah, ada hal yang perlu diperhatikan. Masjid ini terbuka 24 jam. Di saat tertentu masjid ini memang sepi, namun seringnya sangat berjubel. Selayaknya masjid, kita bisa menemukan toilet untuk mandi dan berganti kain ihram, juga tempat wudhu. Pagi itu karena aku dan ibu sudah berwudhu, kami langsung masuk area masjid khusus untuk perempuan seraya berdoa, “Ya Allah, bukakanlah untukku pintu-pintu rahmatMu”.
Masjid Aisyah pagi itu 💗 |
Ada dua tempat salat khusus perempuan di masjid ini. Satu di area utama masjid (lama) dan di area perluasan. Aku sudah coba keduanya, dan entah kenapa aku lebih suka vibe area utama masjid. Terasa lebih orisinal. Ohya sama seperti di Masjid Quba, disini ada pula penjaganya (askar), yang biasanya meminta agar jamaah tertib dan segera bergantian dengan jamaah lain.
Aku dan ibu membentangkan sajadah di saf kedua. Salat dua rakaat dan berdoa. Doa agar dimudahkan dalam umroh kali ini. Kami juga melafalkan niat umroh selepas salat. Kami tentu ingin menikmati ibadah kami di masjid ini, namun karena tempat terbatas dan mengingat perjalanan masih panjang, kami memutuskan segera kembali ke Masjidil Haram.
Ketika kami kembali ke area parkir, driver taksi yang kami tumpangi tadi menyambut kami.
"Sister, here…,” serunya sambil menunjukkan jalan menuju taksinya.
See? Pak sopir taksinya ingat kok sama penumpangnya, hehehe…
"Sister, here…,” serunya sambil menunjukkan jalan menuju taksinya.
See? Pak sopir taksinya ingat kok sama penumpangnya, hehehe…
Kamipun membuntutinya dan masuk ke bangku belakang. Sebelum taksi bergerak, aku dan ibu kembali melantunkan niat dan kalimat talbiyah, labaikallah humma labaik...
Beliau lantas menghidupkan mesin dan mulai bergerak ke jalan utama. Namun tak sampai 500 meter, pak sopir mengarahkan mobilnya masuk ke area pengisian bahan bakar tanpa bicara apapun. Tak apa, pikirku, daripada dorong kehabisan bensin, hehehe. Tanpa antri, pengisian bahan bakarpun tak sampai 5 menit selesai. Kamipun kembali melaju di jalanan Kota Mekah yang lebar, dan alhamdulillah tanpa macet. Sepanjang jalan kami terus mengucap kalimat talbiyah. Hingga tak terasa kami kembali ke area Masjidil Haram. Kami diantar hingga sekitar Hotel Hilton/Jabal Omar. Kami turun, mengucapkan terima kasih, dan tak lama kami sudah berbaur dengan ribuan jamaah yang mondar-mandir di pelataran Masjidil Haram. Kami melangkah pasti dengan niat umroh karena Allah.
Kami terus melenggang tanpa ragu. Sewaktu melewati toilet perempuan (WC 4), aku bertanya pada ibuku apakah ingin ke toilet dulu atau tidak, karena jika sudah di dalam area masjid tidak ada toilet, namun beliau bilang tidak. Maka kami-pun terus berjalan mendekat ke area kabah untuk tawaf. Sesampainya di dekat Hajar Aswad kami mulai tawaf dengan mengucap “Bismillahi-Allahu-Akbar”. Kira-kira jam menunjukkan pukul 10.30. Cuaca mulai panas walaupun tidak terik. Umroh Bulan November sudah cukup sejuk udaranya dibanding bulan-bulan sebelumnya.
Aku terus menggandeng ibu selama proses tawaf. Melewati Maqam Ibrahim, Hijr Ismail hingga ke Rukun Yamani dengan langkah pelan tapi pasti. Hingga 7 kali putaran kami akhiri dengan mencari tempat salat di area salat perempuan di belakang Maqam Ibrahim. Kira-kira sejajar dengan area multazam, kami berhenti, menghadap kabah lalu salat dua rakaat. Aku kembali memohon ampun dalam salatku dan tak terasa air mata menetes. Sungguh begitu banyak dosaku tapi Allah dengan kasih sayang-Nya memberiku begitu banyak rizki. Alhamdulilaah, alhamdullilah, alhamdulillah..
Kami tak buru-buru. Kami nikmati perjalanan “ritual” umroh yang hanya berdua saja ini. Kami bisa se-nyaman mungkin mengatur ritme berjalan kami, berdoa kami, sujud kami. Umroh mandiri terasa lebih nikmat karena tidak terburu-buru dengan "keinginan" rombongan. Setelah selesai berdoa dan badan sudah kembali “cukup normal” dari lelahnya berputar tujuh kali, kami bergerak menuju tempat dimana tong-tong air zamzam diletakkan. Kami meneguk zamzam yang sangat segar. Melepaskan seluruh dahaga kami dari pukul 9 tadi. Setelah minum zamzam, aku sempat memfoto ibu. Tapi sayang matahari sudah cukup tegak diatas, terlalu banyak cahaya yang masuk, hehehe.. Ya sudahlah..
Kami bergegas menuju Bukit Safa untuk melakukan step ketiga dalam rangkaian umroh: sai. Hampir masuk waktu duhur. Prediksiku kami akan salat duhur di tengah-tengah perjalanan antara Bukit Safa dan Marwah. Tak apa, kami tetap semangat. Inti dari proses sai adalah menyusuri lembah antara Bukit Safa dan Marwah sebagaimana dilakukan Bunda Siti Hajar. Jarak antara area mataf ke Bukit Safa ini cukup dekat, dan ada petunjuk yang jelas. Selama di tanah suci, jangan takut tersesat! Minta selalu sama Allah agar langkah kita selalu dipandu, terutama di masjidnya yang agung itu. InsyaAllah, Allah akan menunjukkan jalan yang baik.
Tepat berada di Bukit Safa, kami memanjatkan doa, menghadap ke arah kabah. Selesai berdoa kami mulai melangkah menuruni Bukit Safa. Menyusuri pelataran/lembah hingga kembali sedikit menanjak di Bukit Marwah. Sampai disana, kami kembali berhenti, mengarah wajah pada kiblat dan berdoa. Begitu seterusnya hingga tujuh kali. Aku ingat, siang itu kami berdiri diantara orang-orang (kemungkinan) Uzbekistan yang tinggi-tinggi dan tegap. Kami seperti tenggelam di antara kerumunan. Namun kami tak gentar. Ibadah ini karena Allah, InsyaAllah, Allah yang membimbing langkah kami. Begitulah keyakinanku, selalu.
Berbeda dengan tawaf yang dimulai dari Hajar Aswad dan selesai di titik yang sama, hitungan sai dimulai dari Bukit Safa ke Bukit Marwa sebagai 1 kali perjalanan, dan dari Bukit Marwa kembali ke Bukit Safa juga dihitung sebagai 1 kali perjalanan. Jadi total 1 putaran adalah 2 kali perjalanan. Artinya selama 7 kali bolak-balik antara Bukit Safa dan Marwa, kita akan menginjakkan kaki 4 kali di Bukit Safa dan 3 kali di Bukit Marwa. Selesai. Sampai pada hitungan ke tujuh di Bukit Marwah kita harus keluar di pintu sebelah bukit Marwah.
Seperti yang sebelumnya aku prediksikan, saat hitungan perjalanan kelima, adzan dzuhur berkumandang. Kami-pun menepi, mencari saf perempuan di lembah antara Bukit Safa-Marwah itu. Di sana, kami ikut menunaikan salat dzuhur berjamaah plus salat jenazah. Setelahnya kami menuntaskan perjalanan keenam dan ketujuh sebelum akhirnya keluar setelah menuntaskan proses sai kami.
Miqat-Tawaf-Sai. Ketiganya sudah kami rampungkan. Namun, masih ada satu rangkaian umroh lagi yang perlu kami tuntaskan, yaitu tahalul alias memotong rambut. Tahalul menjadi rangkaian terakhir umroh setelah sai yang wajib ditunaikan oleh jamaah umroh agar hukum larangan ihram tidak berlaku lagi. Aku dan ibu mencari tempat yang agak sepi dan teduh untuk beristirahat di luar area masjid. Kami duduk dan kembali menenggak air zamzam, sambil berhati-hati memotong ujung rambut kami agar tidak terlihat. Tahalul menurut panduan ustad kami boleh dilakukan di dalam kamar hotel, terutama untuk perempuan agar aurat tidak terlihat di tempat publik. Namun alhamdulillah kami melakukannya dengan hati-hati sembari beristirahat saat itu.
Tak lama, setelah merasa energi kami sudah kembali, kami kembali ke Hotel. Kami makan siang dahulu di restoran hotel sebelum istirahat ke kamar.
Aku sungguh bahagia siang itu. Umroh bersama ibu yang aku impi-impikan akhirnya terlaksana dengan lancar tanpa kendala apapun. Hari itu sudah umroh kedua, dan dengan fisik ibu di usia lanjut, aku tak akan mengajak beliau untuk umroh ketiga. Aku hanya terus berharap, semoga Allah mengundang kami di lain waktu. Aamiin...
Well itu saja pengalaman yang ingin aku bagi. Semoga kamu bisa segera umroh ya! Dan dilancarkan prosesnya, aamiin... 😊
Comments
Post a Comment
Terimakasih sudah komentar. Komentar akan muncul setelah proses moderasi. :)