Bersihnya Pantai Cemara, Banyuwangi 2019 | Foto Pribadi |
Apa kamu sudah rindu deburan ombak? Merasakan buih-buih pecahan ombak yang menerpa kaki? Atau justru rindu snorkeling? Menemukan berbagai jenis ikan warna-warni diantara terumbu karang? Aah, membayangkannya saja, saya makin rindu menikmati aktivitas di laut. Kamu juga?
Ya, siapa tak suka pantai? Siapa tak suka laut? Laut punya daya magis yang begitu mengikat. Tak bisa dijelaskan dengan pasti, namun jelas mampu menjadi terapi. Ombak, karang, pasir, garis satunya dengan langit, awan yang seputih kapas menggantung diatasnya. Apapun tentang laut, menjadi efek domino yang menyenangkan bagi saya. Dan saya yakin kebanyakan orang lain juga menikmati suasana pantai, termasuk kamu juga kan? :)
Di tengah pandemi Covid-19, di rumah saja memang keputusan yang bijak. Dan saya berani bertaruh, walau bukan anak indie, kamu pasti rindu pantai, apalagi suasananya saat senja. Deburan ombaknya, pasir putih, ikan, bintang laut, terumbu karang. Sungguh paket lengkap yang bisa mengobati setiap hati yang lara.
Sayangnya, selama 4 bulan ini kita belum bisa mengunjungi pantai. Bahkan, saat kini sudah menginjak masa New Normal atau Kebiasaan Baru, saya pribadi belum berani memutuskan pergi ke pantai lagi. Saya masih setia di rumah saja. Tetap bergembira jika harus berwisata lewat media. Namun siapa sangka, saat menjelajah sosial media Twitter 3 hari yang lalu, saya menemukan postingan yang isinya memilukan. Mungkin kamu juga sudah melihatnya, apa yang kamu rasakan?
Semoga Saintis cepat menemukan vaksin Covid-19 seperti sebelumnya menemukan vaksin polio, cacar, dsb.
— Semesta Sains (@semestasains) July 3, 2020
Sebab jika tidak...,
Bumi yg baru saja sedikit beristirahat, kini menghadapi masalah baru.
📸: Ocean Magazine. pic.twitter.com/FH4dB2FRBi
Sampah masker di pantai-pantai Hongkong. | Foto: Facebook OceansAsia |
Apa Bahaya Sampah Di Laut?
1. Mengancam hewan yang hidup di laut
2. Merusak nutrien di alam Laut
3. Merusak terumbu karang
Dampak Laut Kotor Terhadap Perubahan Iklim
Laut berada di jajaran utama alias front line dari perubahan iklim. Saya mengamini, bahaya sampah di lautan sudah disampaikan berulang-ulang oleh berbagai pihak di berbagai media. Sayangnya entah sosialisasi bahaya sampah di laut ini tak menjangkau semua kalangan, atau manusianya yang bebal dan tak mengindahkan peraturan.
Padahal, dari iucn.org, dikatakan bahwa laut memiliki peran sentral dalam mengatur iklim di bumi. Hal senada juga dituliskan dalam web worldwildlife.org. Lautan mengatur iklim global, laut memediasi suhu dan mengendalikan cuaca yang secara siklus berpengaruh terhadap curah hujan, kekeringan, dan banjir. Laut juga menjadi tempat penyimpan karbon terbesar di dunia. Dimana diperkirakan 83% dari siklus karbon global diedarkan melalui perairan laut. Sayangnya kini interaksi alami di dalam laut berubah, salah satunya karena faktor sampah, dan perubahan siklus alami laut semakin intensif. Dalam 200 tahun terakhir, lautan telah menyerap sepertiga CO2 yang dihasilkan oleh aktivitas manusia dan 90% dari panas yang terperangkap karena konsentrasi gas rumah kaca meningkat.
Terlebih dengan kondisi saat ini, sampah banyak kita temukan di laut, secara langsung sangat berpengaruh terhadap perubahan iklim tersebut.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Kita tentu saja tak ingin dicap dengan status pemberi harapan palsu bukan? Saat awal pandemi, kita menyelamatkan kehidupan laut. Tapi setelah pandemi berjalan beberapa bulan, kita memberi laut beban sampah-sampah "hasil" pandemi.
Semakin saya pikirkan, saya jadi membayangkan, bagaimana jika penularan covid ke biota laut itu mungkin terjadi? Dan setelah tertular corona, ikan ditangkap nelayan, lalu dijual dan masuk dapur kita. Ingat awal mula Covid-19 dikenali? Dari sup kelelawar. Apa jadinya bila sup ikan, ikan goreng atau ikan bakar kita menularkan Covid karena lalai tak merawat limbah corona dan mencemari laut kita? Mengerikan.
Lantas apa yang bisa kita lakukan?
Pemerintah dan Pengelola Rumah Sakit harus proaktif dalam mengelola limbah kesehatan Covid-19. IPAL Rumah Sakit harus dipastikan dapat mengolah limbah dengan baik. Lalu bagi masyarakat, membuang sampah masker harus pada tempat sampah, agar dibawa ke TPS dan berakhir di TPA dengan penanganan yang kita harapkan bersama mampu menangani limbah medis pandemi Corona. Kita juga harus mulai menggunakan masker yang aman secara kesehatan, dan juga dapat digunakan berkali-kali.
Pemerintah juga perlu menyediakan kantong-kantong di muara-muara sungai untuk mencegah sampah terbawa ke laut dengan kantong-kantong sampah. Seperti di Australia ini, dengan dimodifikasi sedemikian rupa, sesuai karakteristik muara sungainya.
Saya tahu, solusi ini mungkin terdengar klise sekali. Pun sudah sering digaungkan. Tapi mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus melakukannya, kita harus mencobanya. Terlebih jika kita masih ingin memakan ikan segar. Jika kita ingin laut kita aman. Dan bila kita ingin perubahan iklim bisa kita tekan sedikit demi sedikit, demi bumi kita, demi kehidupan kita.
Saya sudah berbagi pengalaman soal perubahan iklim. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog "Perubahan Iklim" yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN). Syaratnya, bisa Anda lihat di sini.
https://www.lensakota.com/2021/10/sadari-potensi-sampah-plastik-di.html?sc=1669787747980#c8848054813041825693
ReplyDelete