Di lereng timur Waduk Tukul, tetes nira menitik perlahan dari luka sayatan mayang sepanjang malam. Batang aren yang menjulang di tebing padas itu mengandung manis kehidupan. Seolah berkah yang diwariskan alam bagi mereka yang setia dan tekun menjaganya. Kini, berkat tangan-tangan terampil, olah nira Temon mendunia.
***
Nderes Berkah di Lereng Gunung Sewu
Di kebun berlereng curam, di jalan setapak antara cadas dan semak liar, seorang lelaki tua berjalan pelan, meninggalkan rumahnya di Desa Temon, Arjosari, Pacitan. Pinggangnya dilingkari sabuk khusus, tempat sebilah gobet bertaut. Di pundak kirinya, bumbung kosong diselempangkan layaknya tas anak muda.
Dari kejauhan, kebun itu tampak seperti undakan yang menurun ke arah jurang. Bambu, kelapa, sengon, hingga tanaman paku tumbuh rapat, seolah berlomba-lomba menjauhi muka bumi. Rimbunan itu mengadang sinar matahari sebelum sempat menyentuh dasar kebun.
Pohon aren pun berdiri tegak tanpa aturan. Sebagian masih seukuran pundak orang dewasa, sementara lainnya tinggi menjulang. Ada yang masih bermayang hijau, ada pula yang mayangnya menggelap, coklat pekat. Tepat di samping aren yang dideres saban hari, pak tua mengambil ancang-ancang. Kaki kirinya menancap pada tanah yang ia pijak, sementara kaki kanan bertumpu pada lekukan bambu kering yang terikat ke batang aren.
Bambu tunggal itu dipahat tepat di atas ruas-ruasnya, dibentuk layaknya tangga. Meski jauh dari kata aman, bambu itulah jembatan satu-satunya bagi penderes. Risiko tergelincir, jatuh, dan cedera selalu ada. Namun demi menjemput cairan manis yang menghidupi, pagi itu, pak tua memanjat dengan lincahnya. Nampak betul jika tubuhnya hafal tiap pijakan.
Pada tandan yang terhubung ke bumbung, nira masih menetes, meski tak sederas sesaat setelah tangkai disayat. Bumbung yang dipasang sore kemarin sudah cukup terisi. Kini saatnya menurunkan tabung itu, menggantinya dengan bumbung yang sejak tadi digendongnya. Sambil mengatur napas, ia memainkan gobet, menyayat tandan tipis-tipis agar cairan manis itu mau mengalir lagi.
Hasil sadapan memang tak pernah pasti. Meski nderes dengan tenaga dan cara yang sama, cairan nira yang terkumpul selalu berubah jumlahnya. Kadang bumbung penuh, kadang juga tidak. Nderes nira ada seninya.
Tandan harus dipukul dengan ritme tertentu untuk membuka pori-porinya. Hanya penderes berpengalaman yang paham betul caranya. Keahlian yang lahir dari praktik panjang.
“Nderes itu berat, Mbak. Mukulnya nggak sembarangan. Cari waktu yang pas juga,” ujar seorang pegawai Desa Temon yang juga memiliki pohon aren, saat saya temui di kantor desa, 5 November lalu. Ini jadi alasan kenapa penderes umumnya laki-laki.
Proses deres nira adalah warisan turun temurun. Banyak aturan kecil yang hanya dipahami para penderes. Seorang petani aren di tempat lain di Pacitan pernah berkata dalam sebuah dokumenter, “Nderes pakai baju wangi saja dia nggak mau keluar niranya.”
Gobet kotor dan bau, kata penderes lain, bisa membuat pohon “ngambeg” tak mau mengeluarkan nira. Kala musim panas terik yang menggigit, menadah nira dengan jeriken plastik pun bisa merusak kualitasnya.
Nira yang bening keruh itu memang mudah rusak. Karenanya, penderes harus bolak-balik kebun, pagi dan sore. Setiap tetes nira harus segera diolah bila ingin menjadikannya gula berkualitas. Dari kebun, cairan manis itu dioper ke dapur dengan suka cita.
Menurut petani aren, produktivitas pohon yang bisa mencapai tinggi 25 meter itu tidaklah sama. Ada tandan yang bisa dideres selama tujuh bulan, ada yang hanya tiga bulan. Beberapa pohon masih menghasilkan nira hingga 15 tahun, karena banyaknya cabang mayang.
Uniknya, semakin tua aren, buahnya justru semakin rendah, kebalikan dari pohon kelapa. Jika usianya bertambah beberapa tahun lagi, mungkin pak tua tak perlu susah payah memanjat setinggi sekarang.
Aren tumbuh subur di ketinggian 500–1.000 mdpl. Desa Temon berada tepat dalam rentang itu. Perdesaan hijau ini berada di salah satu perbukitan khas Gunung Sewu. Gugusan karst yang diakui UNESCO itu terbentuk jutaan tahun lalu saat kawasan selatan Jawa terangkat dari dasar laut.
Relief ini menjadikan tinggi bukit dan lereng tak beraturan. Bangunan kantor desa, misalnya, berada di ketinggian 477 mdpl. Sementara Dusun Tenggar yang terletak di bagian utara desa tentu lebih tinggi lagi. Wajar jika aren mudah ditemui di sudut-sudut desa.
Meski jumlahnya dianggap menyusut, sebagian warga Temon masih menggantungkan asa dari manis pohon ini. Sekretaris Desa Temon, Yosi Paradika Putra, menyebut jumlah penyadap nira terbanyak berada di Dusun Tenggar. “Di Tenggar sekitar 30-40 persen. Kalau seluruh desa 10 persenan,” sambung seorang pegawai desa lainnya. Desa Temon sendiri pada 2024 dihuni 4.070 jiwa.
Pak tua hanyalah satu dari puluhan penderes yang saban hari keluar masuk kebun. Bagi petani, aren bukan sekadar tumbuhan liar yang hidup mengikuti pola alam. Ia adalah berkah, sumber penghidupan sekaligus penjaga lereng. Semakin banyak aren yang dipelihara, kian stabil tanah dan aliran air di Temon. Ekosistem alami perbukitan pun ikut terjaga.
***
Nyala Tungku Empat Jam
Aroma manis menguar lembut, merayap dari balik pintu dapur. Semakin didekati, wangi itu kian kuat, bercampur asap kayu bakar yang hangat. Seorang wanita paruh baya menduduki dingklik di depan tungku. Tangannya mengaduk nira yang mendidih, entah untuk ke berapa kalinya.
Sekitar satu jam sebelumnya, nira yang diturunkan dari bumbung disaring ke dalam panci khusus untuk olah nira. Sejak itu, otot tangannya nyaris tak istirahat. Satu waktu ia mengaduk, lain waktu ia merapikan arang kayu, memastikan bara tetap nyala.
Di atas tungku, panci besar penuh nira itu bergolak perlahan. Setiap adukan menentukan nasibnya. Terlambat sedikit, cairan bening itu bisa mengendap dibawa panci dan bisa gosong. Ini juga menjadi tanda jika nyala arang harus dijaga seteliti mungkin. Kehabisan bara membuat nira masam. Sebaliknya, bara yang menyala terlalu rakus membuat adonan kebrangas, menanggalkan rasa pahit yang mencederai manis gula merah.
Disinilah ketelitian ibu-ibu pengrajin gula aren diuji. Seakan tak peduli dengan panas yang memerangkap ruang dapur, mukanya hampir tak berpaling dari kawasan tungku. Gerakan tangannya ritmis, seolah menyatu dengan aroma karamel yang mengepul naik. Setiap adukan menjadi bagian dari warisan turun-temurun yang menjaga cita rasa gula aren Temon.
Empat jam telah berlalu dan cairan bening nira telah berubah pekat, coklat, dan mengilap. Di wajah ibu itu lelah nampak jelas. Panas tungku meninggalkan jejak keringat di pelipis dan semburat merah di pipi. Perjuangan masih belum selesai. Otot tangannya masih harus bergerak, meski bisa sedikit bernapas lega, adonan gulanya nyaris sempurna.
Tanpa aba-aba, setelah nira mencapai kekentalan yang pas menurut ukuran mereka, dan aroma gula terasa mantap, adonan itu dituang ke bathok kelapa sebagai cetakannya. Adonan itu akan mengeras dan menjadi kepingan-kepingan gula aren yang cantik.
Di sentra industri gula aren Temon, dapur yang bertahun-tahun beralaskan tanah kini telah dikeramik, menyesuaikan standar mutu kebersihan industri makanan. Di sini mengolah gula aren adalah tradisi turun-temurun. Entah mereka ini generasi ke berapa, tak ada yang mencatat pasti.
Dulu, apa yang dilakoni ini murni untuk menyambung hidup keluarga. Namun kini, menggarap gula aren menjadi bagian dari industri, yang hasilnya ditunggu dapur modern di berbagai kota.
Sebelum pandemi Covid-19, kepingan gula itu biasa berakhir di tangan tengkulak atau dijual mandiri ke pasar desa sekitar. Kini alurnya berbeda. Kepingan hasil tangan pertama itu disetor ke Rumah Produksi Gula Aren Temon untuk diproses lebih lanjut.
Di rumah produksi itu, kepingan gula aren dipilah menjadi dua bagian. Bagian pertama yang memiliki warna cerah dan bertekstur kesat. Bagian kedua gula merah yang memiliki warna gelap dan bertekstur lengket.
Gula cerah akan diolah menjadi gula semut alias bubuk. Sementara gula yang lengket dan gelap dibuat menjadi gula cair yang dicetak ulang menjadi mini cube, atau dicampur dengan kopi juga jahe merah. Diversifikasi ini bukan hanya menambah daftar panjang varian yang diminati calon konsumen, namun juga memperluas segmentasi pasar dan tentu saja menambah nilai jual.
Dari tungku sederhana di dapur-dapur warga Temon, gula aren dikemas rapi, melintasi desa, menembus kota, bahkan menjelajah benua.
***
Kini, Manis Temon Mendunia
“Maaf kak, saya masih repot stuffing (ekspor) di Tanjung Perak,” tulis Mega via Whatsapp saat saya meminta waktu bertemu. Rupanya ia begitu sibuk. Minggu sebelumnya, ia mengaku sedang menghadiri acara di Sulawesi. Tanpa istirahat, ia langsung mengurus keberangkatan Gula Aren Temon ke Malaysia. Begitulah potongan hari-hari Gusti Ayu Ngurah Megawati tiga hingga empat tahun terakhir. Bersama suaminya, Heri Suryanto, ia menelateni daftar panjang pekerjaan sebagai founder militan Gula Aren Temon.
Pandemi Covid-19 mereset banyak hidup, tak terkecuali Mega dan suaminya yang sebelumnya merantau ke Kalimantan. Di titik buntu itu, mereka mengamati sekeliling rumah dan mendapati pohon aren tumbuh subur. Komoditas yang dulu diperlakukan biasa-biasa saja ternyata menyimpan potensi besar.
Mega pun belajar otodidak melalui YouTube, membeli gula keping dari petani, mencoba empat sampai lima kali hingga menemukan tekstur gula aren semut yang pas. Ia mengemasnya rapi, memasarkannya lewat TikTok, Instagram, Shopee, Facebook, hingga website. Gula semut dan mini cube dijual Rp15.000 per bungkus, gula cair ukuran 250 ml dan 1 liter masing-masing Rp15.000 dan Rp50.000. Respon pasar pun mengejutkan.
Pak Heri pun ikut urun tangan. Ia mendekati petani, memotivasi untuk bersama-sama memajukan usaha gula aren di Desa Temon. “Formulanya itu komunikasi,” kata Mega suatu ketika. “Kita memberi masukan supaya pohon aren tidak langka, terus ada, bisa jadi tambahan penghasilan. Kita adakan kumpulan, pencerahan, dengan kualitas sangat bagus kenapa nggak kita majukan bersama-sama, agar out of the box.”
"Dari ajakan sederhana itu, terbentuklah Kelompok Tani Hutan (KTH) Aren Lestari. Sekdes Temon, Yosi, menyebut aren memang sudah lama menjadi komoditas desa, “mulai tertata sejak Pak Heri buka (usaha) Gula Aren dan membentuk kelompok tani aren.” Pembentukan kelompok ini menjawab tiga tantangan seperti kualitas, kapasitas, dan keberlanjutan. Awalnya hanya 20 petani yang tergabung. Kini, kabar dari mulut ke mulut membuat anggotanya meroket hingga 140 petani dan pengrajin gula aren. Fasilitas demi fasilitas bagi anggota menjadi iming-iming tersendiri. Misanya bantuan peralatan dari Dinas Kehutanan.
Tantangan kualitas pun diurai. Produksi gula aren mulanya berbeda-beda. Teknik turun-temurun membuat hasilnya tidak seragam. Beruntung, Dinas Perindustrian memfasilitasi penyusunan SOP untuk menyeragamkan produksi dengan tetap berkaca pada produksi terbaik di Desa Temon kala itu. Setelah itu, kualitas mulai menyatu, produk lebih stabil dan inovasi lebih mudah.
Empat bulan setelah Mei 2020, Mega dan suami mulai mengurus legalitas satu per satu. Seperti PIRT, sertifikasi halal, dan uji laboratorium untuk memastikan produknya 100 persen aren tanpa campuran. Per 2025 ini, menurut Kementerian Industri, beragam sertifikat untuk menembus pasar global juga sudah dikantongi Gula Aren Temon seperti GS1, GMP, HACCP, JAS, hingga USDA. Sertifikasi GACC juga disiapkan untuk masuk ke pasar Tiongkok.
Permintaan yang terus naik kini tak lagi jadi soal. Lebih banyak tangan bekerja, lebih banyak keluarga ikut terangkat. Kini produksi rutin menembus satu ton, bahkan lebih. Gula Aren Temon menjelajah kota-kota Indonesia, lalu memantul jauh ke Jepang, Belanda, Malaysia. Dengan modal awal hanya Rp500.000. Hari ini, mereka sudah mengirim 1,3 ton gula cair ke Kanada dan 900 paket ke Denmark.
KTH Aren Lestari yang diketuai suami Mega juga memikirkan keberlanjutan masa depan. Populasi aren yang dulu menyusut kini dijaga. Pohon yang semula tumbuh liar mulai dibudidayakan sistematis, memastikan manfaatnya dapat diwariskan. Mereka mengelola 150 hektare lahan berisi sekitar 500 pohon aren, termasuk ditanamnya varietas Kalimantan yang lebih cepat panen.
Beruntung kini berbagai fasilitasi datang, dari mulai pendampingan teknis, pelatihan sistem keamanan pangan, juga mesin kristalisator, oven, meja stainless, hingga pembangunan dapur bersih. Tak hanya itu, pada 2025, Gula Aren Temon bergabung dalam program Desa Sejahtera Astra (DSA) yang diprakarsai oleh PT Astra International Tbk. Program ini membuka lompatan baru untuk mendukung peningkatan kualitas produk, daya saing, juga akses pasar yang lebih luas.
Di tengah derasnya perjalanan, satu hal yang tak berubah dari Gula Aren Temon yaitu kualitas. Produknya dijaga tetap organik, tanpa campuran. “Masyarakat sekarang susah cari gula aren asli. Kita istiqomah di situ,” ujar Mega.
Syukurnya, prinsip itu juga mengalirkan berkah ke petani-petani aren Temon. Bahkan, tak hanya petani yang tergerak, kini beberapa anak muda juga mulai belajar perihal pertanian.
Siapa sangka, desa yang tenang di lereng Gunung Sewu Pacitan ini kini tersohor hingga Eropa dan Amerika. Dari tetes nira yang tumbuh liar, lahir berbagai produk bernilai ekspor. Jauh dari riuh kota, desa ini tetap sunyi, namun namanya menggema di pasar dunia.
***
Referensi :
1. Pengamatan langsung di Desa Temon, Kecamatan Arjosari, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur
2. Wawancara tatap muka dan via Whatsapp
3. Website resmi Gula Aren Temon: https://www.gulaarentemon.com/berita-186-gula-aren-temon-pacitan-berawal-dari-kepergian-sang-ibu-dan-kepungan-pandemi
4. Akun instagram resmi Gula Aren Temon: https://www.instagram.com/gulaarentemon/
5. Ini Cerita Perjuangan Pengelola Gula Aren Temon Arjosari: https://www.youtube.com/watch?v=lyFCYYdktOc
6. Gula Aren Documentary: https://youtu.be/PmqEb3YXM7c?si=EaAZfNfT_8uu5zX9
7. Kementerian Pertanian RI: https://www.youtube.com/watch?v=dGuoitHsw24
8. Proses panen nira: https://www.youtube.com/watch?v=-X5lvrAiaI4
9. Berita media online:
- https://www.goodnewsfromindonesia.id/2025/10/22/gula-aren-temon-jadi-produk-ekspor-dari-pacitan
- https://entrepreneur.bisnis.com/read/20240519/263/1766721/legitnya-gula-aren-asal-pacitan-terasa-hingga-kanada-dan-denmark
- https://mediaperkebunan.id/inilah-desa-temon-sentra-perkebunan-dan-produsen-gula-aren-yang-sudah-go-international/
- https://kumparan.com/kumparanbisnis/manisnya-gula-aren-pacitan-menembus-pasar-kanada-dan-denmark-23iPITZjVpS
- https://pacitanku.com/2022/01/05/inspirasi-umkm-gula-aren-temon-arjosari-produk-asli-pacitan-yang-sukses-berdayakan-masyarakat/
Comments
Post a Comment
Terimakasih sudah komentar. Komentar akan muncul setelah proses moderasi. :)